Nawacita Daging Kerbau India



Tahun ini, pemerintahan Jokowi-JK menginjak masa bakti dua tahun. Dalam visinya yang tertuang dalam Nawa Cita menjadi dasar kebijakan yang akan diambil oleh Presiden. Tak ubahnya dengan daging kerbau india yang di bawa masuk ke Indonesia, menjadi salah satu kebijakan dengan alasan untuk ketahanan pangan. Sesuai dengan agenda ketujuh Nawa Cita yang disebutkan “Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Dengan Menggerakkan Sektor-Sektor Strategis Ekonomi Domestik”. Hal tersebut menitikberatkan pada upaya mewujudkan kedaulatan pangan dan mensejahterakan petani.

Sektor peternakan masih menjadi salah satu sektor strategis ekonomi domestik di Indonesia. Ekonomi peternkaan selalu seksi untuk dibahas dikalangan pengusaha, praktisi, akademisi, stakeholder, dan bahkan mahasiswa di perguruan tinggi. Untuk mewujudkan kebutuhan akan protein hewani masyarakat, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang izin impor daging kebau india. Dimana India merupakan negara yang masih belum dinyatakan bebas dari penyakit zoonosis PMK (baca: penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia).

Menolak lupa akan Nawa Cita Jokowi-Jk, serta ingin menyadarkan kembali kepada pemerintah bahwa kebijakan akan impor dagin kerbau dari india adalah suatu kesalahan yang besar dan fatal. Pada akhirnya nanti akan berdampak pada ketidak adilan terhadap peternak. Sesuai dengan Undang-Undang No. 41 tahun 2014 tentang Peternkaan dan Kesehatan Hewan bahwa hadirnya undang-undang tersebut merupakan bentuk dasar negara Indonesia bertanggungjawab atas rakyat Indonesia melalui peternakan dan kesehatan hewan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Berangkat dari itu, maka keberlangsungan peternakan Indonesia merupakan salah satu tanggung jawaban dari negara. Apalagi kita lihat peternakan rakyat yang mendominasi peternakan di Indonesia dengan skala kepemilikannya yang hanya 1-3 ekor per keluarga dan peternakan rakyat ini tersebar dari sabang sampai marauke.

Pemerintah harus menjalankan Undang-Undang untuk melindungi peternak rakyat serta mensejahterakannya. Tidak bisa pemerintah diam tak memperdulikan peternak rakyat demi untuk konsumen semata. Pemerintah juga sudah tahu bahwa peternak rakyat pada dasarnya dari kelompok yang tidak mampu, sehingga perlu sentuhan pembinaan pemerintah.

Dampak Negatif

Kita lihat sekarang ini, harga daging kerbau India yang masuk ke Indonesia akan dijual dengan harga 65 ribu rupiah. Sedangkan sebelum lebaran kemaren, harga daging sapi dipaksa turun sampai 80 ribu rupiah. Pemerintah tidak menyadari bahwa dengan memaksakan harga turun dengan cepat akan menghancurkan sendi-sendi pembangunan peternakan tanah air.

Apalagi daging kerbau yang dibawa dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku tersebut, membawa dampak buruk terhadap kondisi peternakan di Indonesia. Pertama, penyakit zoonosis terbuka lebar untuk masuk kembali ke Indonesia, dimana selama ini Indonesia berjuang membebaskan PMK selama telah lebih dari 103 tahun dengan biaya yang tidak sedikit (Muladno). Kedua, keamanan konsumen yang mengkonsumsi daging kerbau India, tidak bisa dieakkan ketika menjangkiti langsung atau tidak langsung dari daging kerbau India ke manusia, ibarat pemerintah menaruh penyakit ke konsumen.

Membunuh Peternak Rakyat

Dilihat dari segi lain, pertama, pemerintah sudah memberikan pesan yang keliru kepada masyarakat awam tetang peternakan, seolah-olah harga daging yang normal sekitaran 60-80 ribu per kilogram. Dan ketika harga daging di jual dengan harga diatas 100 ribu rupiah maka peternak di anggap mengambil untung berlipat-lipat.

Kedua, pemerintah sudah menurunkan harga sapi di kalangan peternak, Gencarnya operasi pasar dan pemberitaan di media, sapi-sapi peternak di tawar dengan harga yang menyakitkan oleh pedagang. Sayangnya Mentri Pertanian dan pemerintah Jokowi-JK secara umum tidak sensitive dengan fakta yang di rasakan peternak rakyat.

Pemerintah terkesan peduli sekali dengan kepentingan konsumen. Rakyat yang kerap di jadikan dalih pembelaan, lebih banyak mempresentasikan kepentingan masyarakt konsumen. Sementara peternak yang juga berhak menyandang nama rakyat cenderung termajinalkan kepentingannya, tak di dengar kebutuhan hidupnya. Padahal peternak merupakan komponen utama pembangunan peternakan nasional.

Mari kita lihat, pasar terbesar atau konsumen daging terbesar saat ini adalah wilayah Jabodetabek ditambah Bandung, kisaran 70% daging nasional diserap di pasar ini. Karakter penduduk wilayah ini adalah masyarakat perkotaan dengan kegiatan bisnis/industry yang tinggi. Tak hanya di konsumsi rumah tangga perkotaan, serapan daging masuk ke dalam bisnis hotel, restoran, dan catering. Mengapa peternak dikorbankan demi mengakomodir kepentingan yang justru adalah masyarakat perkotaan, mengapa masyarakat menuntut biaya belanjanya (daging sapi) “disubsidi” oleh peternak rakyat yang justru faktanya adalah kelompok tak mampu.

Umumnya, peternak menjual sapi hanya saat membutuhkan dana, atau setidaknya hanya setahun sekali penjualan sapi. Kalau peternak mendapat keuntungan 3-4 juta dari menjual seekor sapi yang di pelihara selama setahun, pantaskah dipangkas lagi keuntungannya? Bandingkan, dengan gaji bulanan para pekerja di perkotaan pantaskah justru peternak yang diharuskan mengalah demi menyenangkan konsumen perkotaan dan industry.

Sangat ajaibnya lagi, ketika Mentri Pertanian langsung memperjuangkan untuk menurunkan harga daging, yang mana semestinya menjadi induk tempat berlindung dari peternak. Akhir-akhir ini mentri perntanian malah sibuk bermain di domain kementrian perdagangan, mengurusi pemasaran.

Seharusnya dalam menurunkan harga daging, pemerintah perlu memutuskan rantai distribusi. Salah satunya adalah pemerintah turun langsung membeli sapi dari peternak dengan harga yang tinggi. Kemudian pemerintah yang akan mendistribusikan ke pedagang. Bukan dengan mengimpor daging kerbau dari India, malah akan merusak sendi pembangunan peternakan Indonesia.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Nawacita Daging Kerbau India"

Posting Komentar